BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Karakter.
Dalam
konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan erat dengan iman dan keikhlasan.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya
dengan “habbit” atau kebiasaan terus-menerus dipraktikakan dan diamalkan. Jadi Pendidikan
karakter adalah sebuah system yang menanamkan nilai – nilai karakter pada
peserta didik,yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad
serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai- nilai, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun
bangsa, sehingga akan terwujud insan yang berkarakter.
2.2
Pembentukan Karkter
Karakter
adalah sebuah kata yang tidak ada artinya jika tidak dihubungkan dengan
manusia. Gordon Allport mendefinisikan Karakter manusia sebagai kumpulan atau
kristalisasi dari kebiasan-kebiasaan seorang individu. Sedangkan Chaplin
mendefinisikannya sebagai kualitas kepribadian yang berulang secara tetap dalam
seorang individu. Dari sudut proses pembentukkannya ada ahli yang mengatakan
bahwa Karakter manusia itu adalah turunan (hereditas), sebagian lain lagi
mengatakan lingkungan yang membentuk Karakter Kepribadian seseorang. Kita tidak
mempersalahkan ataupun membenarkan salah satu pandangan di atas. Yang pasti
kedua faktor di atas sangat berperan di dalam pembentukan Karakter Kepribadian
seorang manusia. Tapi yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa
kebiasaan manusia setiap hari itulah yang akan membentuk Karakter
seorang manusia.
2.3
Proses Pembentukan Karakter
Terbentuknya
karakter seseorang melalui proses yang panjang. Dia bukanlah proses sehari dua
hari, namun bisa bertahun-tahun. Dalam ilustrasi seorang yang tinggal sementara
di Singapura sebelumnya, kita berharap sepulangnya dia dari sana karakternya
akan berubah, tapi kenyataannya tidak. Ini menunjukkan, waktu satu tahun belum
sanggup membentuk karakter.
Suatu sikap atau prilaku dapat
menjadi karakter melalui proses berikut:
1.
Mengetahui
2.
Menghayati
3.
Melakukan
4.
Membiasakan menjadi karakter yang baik
Karakter
menjadi kuat jika rangkaian proses tersebut dilewati. Tahapan di atas dapat
dikelompokkan lagi atas dua bagian. Bagian pertama dominan aspek cognitifnya,
yakni mulai dari Tahap Pengenalan hingga tahap Penerapan. Selanjutnya bagian
kedua mulai didominasi oleh ranah afektif, yakni mulai dari pengulangan sampai
internalisasi menjadi karakter. Bagian ke dua ini, dorongan untuk melakukan
sesuatu sudah berasal dari dalam dirinya sendiri.
Pemahaman atas
tahapan pembentukan karakter ini akan sangat mempengaruhi jenis interfensi apa
yang diperlukan untuk membentuk karakter secara sengaja. Akan sangat berbeda
interfensi yang dilakukan pada saat karakter baru pada tahap pengenalanan
dengan tahapan pengulangan atau pembiasaan.
2.3.1 Mengetahui (knowledge)
Pembentukan
karakter dimulai dari fase ini yaitu kesadaran dalam bidang kognitif.. Untuk
seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter baik dari lingkungan
keluarganya. Misalnya, pada keluarga yang suka memberi, bersedekah dan berbagi.
Dia kenal bahwa ada sikap yang dianut oleh seluruh anggota keluarganya, yakni
suka memberi. Kakaknya suka membagi makanan atau meminjamkan mainan. Ibunya
suka menyuruh dia memberikan sedekah ketika ada peminta-pinta datang ke rumah.
Ayahnya suka memberikan bantuan pada orang lain. Pada tahapan ini dia berada
pada ranah kognitif, dimana prilaku seperti itu masuk dalam memorinya.
2.3.2 Menghayati (understanding)
Setelah
seseorang mengenal suatu karakter baik, dengan melihat berulang-ulang, akan
timbul pertanyaan mengapa begitu? Dia bertanya, kenapa kita harus memberi orang
yang minta sedekah? Ibunya tentu akan menjelaskan dengan bahasa yang sederhana.
Kemudian dia sendiri juga merasakan betapa senangnya ketika kakaknya juga mau
berbagi dengannya. Dia kemudian membayangkan betapa senangnya si peminta-minta
jika dia diberi uang atau makanan. Pada tahap ini, si anak mulai paham jawaban
atas pertanyaan ”mengapa”. Pada tahap ini yakni kedalaman kognitif dan afektif
yang dimiliki oleh individu.
2.3.3Melakukan (acting)
Jika kedua
aspek diatas sudah terlaksana makan akan dengan mudah dilakukan oleh seseorang
yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan suatu pekerjaan.
Didasari oleh pemahaman yang diperolehnya, kemudian si anak ikut menerapkannya.
Pada tahapan awal, dia mungkin sekedar ikut-ikutan, sekedar meniru saja.
Mungkin saja dia hanya melakukan itu jika berada dalam lingkungan keluarga
saja, di luar dia tidak menerapkannya. Seorang yang sampai pada tahapan ini
mungkin melakukan sesuatu atau memberi sedekah itu tanpa didorong oleh motivasi
yang kuat dari dalam dirinya. Seandainya dia kemudian keluar dari lingkungan
tersebut, perbuatan baik itu bisa jadi tidak berlanjut.
2.3.4Membiasakan menjadi karakter yang baik
Tingkatan
berikutnya, adalah terjadinya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam
suatu sikap atau perbuatan di dalam jiwa seseorang. Sumber motivasi melakukan
suatu respon adalah dari dasar nurani. Karakter ini akan menjadi semakin kuat
jika ikut didorong oleh suatu ideologi atau believe. Dia tidak memerlukan
kontrol social untuk mengekspresikan sikapnya, sebab yang mengontrol ada di
dalam sanubarinya. Disinilah sikap, prilaku yang diepresikan seseorang berubah
menjadi karakter.
Seorang anak
yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal dalam
masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki
keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan
pahala, maka suka memberi ini akan menjadi karakternya.
Seorang anak
yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu, tinggal dalam
lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata kotor,
dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkatan kotor mungkin
akan menjadi karakternya.
Tahapan yang
telah dipaparkan diatas akan saling pengaruh mempengaruhi. Mekanismenya
ibaratkan roda gigi yang sling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan menggerakkan
seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia untuk
menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan melahirkan
kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma
menjadi kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau
believe akan berubah menjadi karakter.
2.4 Pengkondisian
dan Keteladanan
2.4.1 Pengkondisian
Pengkondisian
berkaitan dengan upaya untuk menata lingkungan fisik maupun nonfisik demi
terciptanya suasana mendukung terlaksananya pendidikan karakter. Kegiatan
menata lingkungan fisik misalnya adalah mengkondisikan tempat sampah, halaman
yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang. Sedangkan
pengkondisian lingkungan nonfisik misalnya mengelola konflik supaya tidak
menjurus kepada perpecahan, atau bahkan menghilangkan konflik tersebut.
2.4.2 Keteladanan
Keteladanan merupakan
sikap “menjadi contoh”. Sikap menjadi contoh merupakan perilaku dan sikap
tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta
didik atau warga belajar lain. Contoh kegiatan ini misalnya tenaga kependidikan
menjadi contoh pribadi yang bersih,
rapi, ramah, dan patut dicontoh.
2.5 Strategi/
Pembentukan Karakter Terpuji (Santun atau Menghormati Orang Lain) Melalui
2.5.1 Pengkondisian
Pembentukan karakter
sopan santun (menghormati orang lain) melalui pengkondisian dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Diantaranya (Lickona, 2013):
1. Menciptakan Komunitas yang Bermoral
Menciptakan komunitas
yang bermoral dengan mengajarkan siswa untuk saling menghormati, menguatkan,
dan peduli. Dengan ini, rasa empati siswa akan terbentuk.
2. Disiplin Moral
Disiplin moral menjadi
alasan pengembangan siswa untuk berperilaku dengan penuh rasa tanggung jawab di
segala sitasi, tidak hanya ketika mereka di bawah pengendalian atau pengawasan
guru atau orang dewasa saja. Disiplin moral menjadi alasan pengembangan siswa
untuk menghormati aturan, menghargai sesame, dan otoritas pengesahan atau
pengakuan guru.
3. Menciptakan Lingkungan Kelas yang Demokratis: Bentuk Perteman Kelas
Menciptakan lingkungan
kelas yang demokratis dapat dilakukan dengan membentuk pertemuan kelas guna
membentuk karakter terpuji santun atau menghoramti orang lain. Menurut Lickona
(2013:212), tujuan perkembangan karakter dari pertemuan kelas yaitu:
1) mengembangkan siswa
melalui kebiasaan tatap muka untuk mencapai kemampuan siswa yang mampu
mendengarkan, menghargai, dan menghormati pendapat orang lain.
2) menyediakan sebuah
forum untuk bertukar pikiran sehingga akan mncul rasa kepercayaan diri
masing-masing individu.
3) membantu perkembangan
ketiga bagian karakter, kebiasaan moral, perasaan, dengan melakukan latihan
setiap hari dalam kehidupan di kelas.
4) menciptakan komunitas
moral sebagai sebah struktur dukungan untuk memelihara wilayah sebuah kualitas
karakter yang baik bahwa sejatinya para siswa itu berkembang.
5) mengembangkan sikap
dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengambil peranan dalam kelompok pengambil
keputusan secara demokratik.
4. Mengajarkan Nilai Melalui Kurikulum
Kurikulum berbasis nilai
moral akan membantu membentuk atau mengkondisikan siswa dalam membentuk
karakter terpuji. Dan salah satunya adalah karakter santun. Dari kurikulum
berbasis nilai moral ini bergerak dan menuju pusat dari proses
belajar-mengajar.
5. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif
dapat mengembangkan dan membentuk karakter terpuji santun atau menghargai orang
lain karena pembelajaran kooperatif memiliki banyak keuntungan.
Keuntungan-keuntungan tersebut diantaranya, proses belajar kooperatif dapat
mengajarkan nilai-nilai kerja sama, membangun komunitas di dalam kelas,
keterampilan dasar kehidupan, memperbaiki pencapaian akademik, rasa percaya
diri, dan penyikapan terhadap sekolah, dapat menawarkan alternative dalam
pencatatan, dan yang terakhir yaitu memiliki potensi untuk mengontrol efek
negatif.
6. Meningkatkan Tingkat Diskusi Moral
Melalui diskusi moral,
siswa mampu bertukar pendapat dengan siswa lain. Hasilnya, mampu membat siswa
tersebt saling menghargai pendapat-pendapat yang memang berbeda dengan
pendapatnya. Diskusi moral ini lebih kebanyakan bertujuan untuk menyamakan
pendapat antara pendapat yang satu dengan lainnya.
2.5.2 Keteladanan
Pembudayaan merupakan suatu proses pembiasaan. Pembudayaan sopan santun
dapat dimaksudkan sebagai supaya pembiasaan sikap sopan santun agar menjadi
bagian dari pola hidup seorang yang dapat dicerminkan melalui sikap dan
perilaku kesehariannya. Sopan santun sebagai perilaku dapat dicapai oleh anak
melalui berbagai cara. Proses ini dapat dilakukan di rumah maupun di sekolah.
Pembudayaan sopan antun
di rumah dapat dilakukan melalui peran orang tua dalam mendidik anaknya. Orang
tua dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Orang tua memberikan
contoh-contoh penerapan perilaku sopan santun di depan anak. Contoh merupakan
alat pendidikan yang sekaligus dapat memberikan pengetahuan pada anak tentang
makna dan implementasi dari sikap sopan santun itu sendiri. Menurut
pendapat Dyah Kusuma (2009) “pembentukan perilaku sopan
santun sangat dipengaruhi lingkungan. Anak pasti menyontoh perilaku orang tua
sehari-hari. Tak salahlah kalau ada yang menyebutkan bahwa ayah/ibu merupakan
model yang tepat bagi anak. Di sisi lain, anak dianggap sebagai sosok peniru
yang ulung. Lantaran itu, orang tua sebaiknya selalu menunjukkan sikap sopan
santun. Dengan begitu, anak pun secara otomatis akan mengadopsi tata- krama
tersebut.” Contoh merupakan sarana yang paling ampuh dalam menanamkan sikap sopan santun pada anak
dengan contoh anak dapat secara
langung melihat model dan sekaligus dapat meniru dan mengetahui implementasinya. Orang tua dapat menanamkan makna dari sikap sopan ini akan lebih mudah.
b) Menanamkan sikap
sopan santun melalui pembiasaan. Anak dibiasakan bersikap sopan dalam kehidupan
sehari hari baik dalam bergaul dalam satu keluarga maupun dengan lingkungan.
Seperti yang diungkapkan oleh Dyah Kusuma (2009) dalam yaitu: “Kelak,
anak yang dibiasakan dari kecil untuk bersikap sopan santun akan lebih mudah
bersosialisasi. Dia akan mudah memahami aturan-aturan yang ada di masyarakat
dan mau mematuhi aturan umum tersebut. Anak pun relatif mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya
diri, dan memiliki kehidupan sosial yang baik. Pen-dek kata, dia tumbuh menjadi
sosok yang beradab.”
c) Menanamkan sikap sopan santun
sejak anak masih kecil, anak yang sejak kecil dibiasakan bersikap sopan akan
berkembang menjadi anak yang berperilaku sopan santun dalam bergaul dengan
siapa saja dan selalu dpat menempatkan dirinya dalam suasana apapun. Sehingga
sikap ini dapat diajadikan bekal awal dalam membina karakter anak.
Pembudayaan sikap sopan santun di sekolah dapat dilakukan melalui program
yang dibuat oleh sekolah untuk mendesain skenario pembiasaan sikap sopan
santun. Sekolah dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Peran sekolah dalam
membiasakan sikap sopan santun dapat dilakukan dengan memberikan contoh sikap
sopan dan santun yang ditunjukkan oleh guru. Siswa sebagai pembelajar dapat
menggunakan guru sebagai model. Dengan contoh atau model dari guru ini siswa
dengan mudah dapat meniru sehingga guru dapat dengan mudah menananmkan sikap
sopan santun.
b) Guru dapat
mengitegrasikan perilakuk sopan santun ini dalam setiap mata pelajaran,
sehingga tanggungjawab perkembanagn anak didik tidak hanya menjadi beban guru
agama, pendidikan moral pancasila, dan guru BP.
c) Guru agama, guru
pendidikan moral pancasila dan guru BP dapat melakukan pembiasaan yang
dikaitkan dalam penilaian secara afektif. Penilaian pencapain kompetensi dalam
3 mata pelajaran ini hendaknya difokuskan pada pencapain kompetensi afektif.
Kompetensi kognitif hanya sebagai pendukung mengusaan secara afektif.
Penting sekali membentuk karakter yang baik bagi seseorang... Agar ia mempunyai kepribadian yang kokok... Dan bisa menjadi bekal untuk meraih kesuksesan
BalasHapusAda daftar Pustaka?
BalasHapusDaftar pustaka adakah...?
BalasHapus